Jumat, 29 Juni 2012

Cinta di persimpangan part 1


Haruskah aku selingkuh? 

Suatu sore di pantai Anyer.
Hari senin merupakan hari idaman bagi semua orang yang bekerja dihotel bertebaran di sepanjang pantai barat pulau jawa itu. Setelah akhir pekan yang supersibuk dengan kepadatan turis lokal maupun mancanegara, hari senin adalah waktu bagi para pekerja untuk beristirahat dan bersantai.
Itu pula yang dikerjakan oleh Anisa bersama kedua sahabatnya Citra dan Hera. Sore itu mereka menggelar tikar di tepi pantai dibawah pohon rindang yang tidak jauh dari rumah Hera. Mereka membawa banyak makanan, minuman, buku, dan juga sunblok.
Hera merupakan satu-satunya diantara mereka yang asli orang Anyer. Citra berasal dari Jakarta. Dulu dia pernah bekerja sebagai seorang akuntan disebuah perusahaan besar di Jakarta. Suatu hari bersama rekan-rekan kantornya ia berlibur ke pantai Anyer dan hati Citra tertambat disana. Beberapa bulan kemudian ia memergoki suaminya berselingkuh dengan seorang rivalnya dikantor. Mereka pun bercerai dan Citra kembali ke pantai ini. Awalnya dia hanya ingin berlibur dan menenangkan dirinya. Namun kemudian ia melihat lowongan akuntan di hotel tempatnya menginap dan dia langsung melamar. Sejak itu, ia tak pernah kembali ke Jakarta. Tidak untuk tinggal.
Sementara Anisa sendiri berasal dari salah satu desa di kawasan Tangerang. Tak ada yang istimewa dari ceritanya. Ia datang ke Anyer empat tahun yang lalu untuk menyusul kekasihnya—yang telah berangkat lebih dulu bekerja disana. Mereka sepakat bekerja dan mengumpulkan uang untuk bekal pernikahan mereka kelak. Hingga kini, tiga tahun kemudian. Zidan telah menjadi seorang manager lapangan, sementara dirinya menjadi kepala housekeeping. Sebuah pencapaian yang lumayan dan pendapatan yang juga lumayan. Seharusnya kini mereka bisa menikah dan membentuk keluarga kecil yang bahagia. Tapi masalahnya …
“Kau tahu Imel?” tanya Anisa.
“Imeal?” Hera menoleh dari bukunya. “Asisten General Manager yang baru itu?”
“Yang punya mobil mewah berwarna kuning.”
 “Ya, itu memang dia. Kenapa?”
“Dia sangat cantik.”
“Dia keponakan pemilik hotel,” Citra yang sedang mengoleskan banyak-banyak sunblock ke wajah dan tangannya ikut menyahut. “Ibunya pemilik sebuah penerbitan sebuah majalah wanita ternama. Kaya? Jangan tanya lagi. Mobilnya itu tidak akan kebeli kalau dia hanya mengandalkan gajinya sebagai asisten manajer.”
Penjelasan Citra sama sekali tidak memperbaiki perasaan Anisa. Dengan malas ia meraih botol minumannya dan meminum seteguk sebelum melemparkannya sembarangan ke tasnya.  
“Kenapa tiba-tiba tertarik padanya?” Hera menutup bukunya dan memberikan perhatiannya pada Anisa.
Anisa beringsut memperbaiki duduknya seraya menatap anak krakatau dikejauhan yang terlihat di kejauhan tanpa benar-benar memikirkan apa yang dilihatnya.  
“Ah, aku tahu,” Citra menjentikkan jarinya. “Kau iri padanya?”
Sebagai teman, terkadang Citra memang agak tidak berperasaan. Tidak pernah berfikir apakah orang yang mendengar perkataannya akan sakit hati atau tidak. Walaupun mungkin kalau dipikir-pikir Citra ada benarnya. Ia iri pada Imel, meski benar-benar dengan alasan yang berbeda.
“Kenapa kau bilang begitu?”  Hera memprotes.
“Memang kenapa?” Citra mengangkat alisnya dan meneruskan. “Itu bisa dimaklumi kok. Aku tidak suka mengatakan ini, tapi yang namanya laki, dimana-mana juga sama. Meski udah punya bini, kalau lihat wajah cantik dan bodi seksi pasti ngiler juga. Dan Imel? Dia sangat sombong, tapi dia jelas cantik dan seksi. Ia seperti obyek mimpi berjalan setiap lelaki yang melihatnya. Ia bisa memberi efek yang sangat besar untuk membuat cewek disekitarnya merasa rendah diri.”
“Citra,” Hera menyikutnya. Merasa tidak enak dengan Anisa.
“Memang berat bersaing dengannya. Kabarnya dia juga jago menari balet dan juga jago bermain piano—“
“Benarkah?” desah Anisa lemah.
“—intinya dia gadis sempurna. Tapi kau tidak usah khawatir, setiap cewek iri padanya. Kau tidak sendirian.”
“Aku tidak iri padanya,” tegas Anisa. “Aku membencinya.”
Baik Citra maupun Hera tertegun menatap sahabat mereka itu. Mereka berdua bisa melihat Anisa mulai kehilangan kesabaran.  
“Yah, yang lain juga begitu,” Citra kembali menyahut. “Mereka iri dan benci. Keduanya biasanya menjadi satu paket, Anisa.”
“Maksudmu… Zidan selingkuh?” todong Hera. “Lagi?”
Citra menghela nafas dan menggerutu, “Mereka memang terlahir untuk menjadi bajingan.” 
Wajah Anisa terasa menghangat, marah dan malu bercampur menjadi satu. Diantara mereka bertiga, hanya dirinya yang memiliki pacar tetap selama ini. Citra berganti-ganti pacar seperti mengganti koleksi pakaian. Setidaknya sudah tiga kali berganti pasangan sejak mereka berkenalan dan sekarang sedang tidak memiliki pacar. Ia tidak mengerti bagaimana mereka bisa begitu mudahnya jatuh dari pelukan lelaki yang satu ke lelaki yang lain. Namun sudah setahun ini dialah yang selalu bermasalah dengan perselingkuhan kekasihnya.
Bagaimanapun mereka sudah berpacaran selama delapan tahun. Mereka pernah memiliki masa-masa dimana mereka benar-benar kasmaran dan tidak bisa berjauhan meski hanya sekejap saja. Semua terasa indah dan mereka sama-sama percaya mereka tidak akan bisa hidup terpisah selamanya.
Mereka bahkan sudah merancang tentang rencana bagaimana mereka akan menghabiskan hidup mereka sampai tua bersama-sama. Dan kini mereka masih berumur dua puluh tujuh tahun. Masih bisa dibilang muda namun hubungan mereka sudah jauh dari kata bahagia. Nyaris tak ada waktu untuk bersama.
Citra beberapa kali mengatakan bahwa lelaki seperti itu lebih baik dibuang saja. Tapi Anisa masih ingin mempertahankan atau kalau bisa mengembalikan apa yang pernah mereka miliki dulu. Ia benar-benar merindukan saat-saat indah itu. Bagaimanapun, Anisa masih tetap tidak bisa hidup tanpa Zidan disisinya…
“Ini bukan sepenuhnya kesalahan Imel,” lanjut Anisa lemah. “Zidan juga yang mencari gara-gara. Lagi-lagi dia memperlakukan aku seperti ini.” 
Ada kerutan kecil diantara dua alis Citra. “Maksudmu dia benar-benar selingkuh? Dengan Imel?”
Kedua bahu Anisa terkulai, “Dia terlihat makin aneh akhir-akhir ini.”
Baik Citra maupun Hera mendengarkan dengan serius.
“Aku makan malam bersamanya semalam. Salah seorang temannya juga ada disana. Dia sedang nyamperin meja temannya itu dan … aku menerima telponnya.” Anisa menarik nafas frustasi. “Cewek itu menelponnya.”
“Memangnya dia bilang apa?”
“Dia tertawa waktu kubilang aku pacarnya Zidan,” sahut Anisa muram. “Dan Zidan … dia terlihat aneh saat kubilang dapat telpon dari Imel.”
“Apa tanggapan Zidan?”
“Dia agak marah karena aku mengangkat telponnya. Dia bilang meski aku kekasihnya, tidak etis jika aku mengangkat telpon tanpa seijinnya. Melanggar privasinya katanya.”
Bola mata Citra berputar.
“Terus dia bilang cewek itu siapa?” Hera bertanya.
“Dia bilang mereka hanya berteman.”
“Ha ha,” tawa Citra sarkastis. “Silakan saja kalau mau percaya. Suamiku dulu juga bilang Indri temannya. Dia bilang kecurigaanku sama sekali tidak beralasan. Seminggu kemudian aku menangkap basah mereka bercinta di meja dapurku.”
“Mungkin mereka benar berteman?” komentar Hera.
“Kau ini bodoh atau lugu?” tukas Citra. “Kau berapa kali putus dengan pacarmu? Berapa kali kau ditinggalkan? Bagaimana bisa kau belum tahu juga kelagat mereka kalau mereka punya perempuan lain?”
Hera mengangkat bahunya, “Aku yang biasanya meninggalkan mereka. Aku tidak mau bercinta sebelum kami menikah. Tapi mereka selalu bilang aku kuno dan sok suci. Jadi aku tinggalkan saja mereka. Buat apa bela-belain cowok yang tidak mau menghargai prinsip hidupku?”
Baik Citra maupun Anisa bengong melihat teman mereka itu. Bagaimana tidak? Secara fisik, Hera seorang gadis yang sempurna dan tidak segan-segannya memamerkan kesempurnaan tubuhnya. Lihat saja sekarang, sementara Anisa dan Citra mengenakan celana pendek dan kaus, Hera hanya mengenakan bikini merah menyala yang menonjolkan segala keindahan fisiknya yang memang selalu dijaganya dengan hati-hati.
“Jadi maksudmu kau menggoda mereka, memamerkan semua yang kau miliki pada mereka dan kemudian kau menolak mereka?” tanya Anisa, lebih terdengar heran daripada menghakimi.
“Memang apa yang salah? Aku sudah susah-susah berdiet sepanjang hidupku. Jadi hakku untuk memamerkannya pada semua orang. Lagipula, apa orang yang punya prinsip mempertahankan keperawanan sampai menikah tidak boleh tampil seksi? Itu baru kuno.”
Citra berpandangan dengan Anisa dan terkekeh. “Kalau aku punya anak perempuan nanti, aku akan mengantarnya kerumahmu dan ajari dia tentang prinsip-prinsipmu itu.”
 Anisa menghela nafas panjang, “Mungkin kita sudah waktunya punya anak.”
Kedua temannya terdiam beberapa lama. Hera mengangguk setuju sementara Citra tidak menanggapi.
 Hera mengernyitkan keningnya. “Kenapa kau tidak mengajaknya menikah saja?”
“Apa?”
“Zidan. Coba saja ajak dia menikah. Kalau dia mau, itu artinya dia masih mencintaimu dan memang ingin meneruskan hubungannya denganmu. Kalau tidak, seperti kata Citra, dia memang lelaki brengsek yang tidak pantas kau tunggu.”
“Itu ide bodoh,” kata Citra menimpali.  “Kalau masih pacaran saja sudah suka selingkuh, kenapa harus dilanjutkan ke pernikahan?”
“Akhir-akhir ini dia sering bilang mencintaiku,” Anisa menghela nafas panjang. “Tapi entah kenapa semakin sering dia mengatakan itu, semakin hatiku merasa tidak enak.”
“Kurasa dia bilang begitu untuk menutupi perselingkuhannya. Biar kau tidak curiga tentang hubungannya dengan Imel.”
“Atau bisa jadi dia memang mencintaimu,” Hera mencoba menghiburnya. “Zidan memang populer, dan begitu juga Imel. Sesama orang populer memang saling mengenal.”
“Mereka selingkuh. Aku tahu itu.”
Citra menatap Anisa lama, bulu mata lentiknya berkedip cepat sebelum berkata, “Kadang aku berfikir, Anisa.”
“Apa?”
“Mungkinkah kau sebenarnya tidak begitu siap memiliki pacar sekeren dan sepopuler Zidan?”
“Astaga, Citra,” Hera benar-benar menyikut lengan Citra kali ini. “Bagaimana bisa kau bilang begitu pada sahabatmu sendiri?” 
Perkataan Citra itu menyikut perasaan Anisa. Ia mencintai Zidan sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku SMP dan berpacaran saat kelas dua SMU. Zidan adalah seorang cowok cerdas, tampan, energik dan atlit basket yang selalu populer kemanapun ia melangkahkan kakinya. Tapi bukan itu yang membuatnya pertama kali jatuh hati pada Zidan. Zidan seorang pemuda yang baik. Itu benar. Setidaknya begitulah Zidan yang dulu. Banyak saat-saat manis yang mereka rasakan berdua. Hampir setiap hari sabtu sore, selepas Zidan berlatih basket mereka nyaris selalu menghabiskan waktu  bersama. Terkadang mereka makan bersama, nonton film, atau bahkan sekedar berjalan-jalan dengan mengendarai sepeda motor Zidan. Ia ingat suatu hari pernah berfikir mungkin dirinyalah gadis paling bahagia didunia. Saat itu, ia merasa hidupnya  sempurna.
Namun kini semua itu seolah sudah terjadi disuatu kehidupan yang lain. Meski mereka sudah bekerja, karir basket Zidan tetap melesat. Kemanapun ia pergi selalu menjadi tumpuan perbincangan dan perhatian. Dari hari kehari semakin banyak gadis-gadis yang menjadi fansnya dan mereka berebut mencuri perhatiannya. Bahkan tamu-tamu hotel pun tidak luput dari jeratan pesonanya. Tak ada banyak waktu lagi yang tersisa bagi Anisa disela-sela jadwal Zidan yang supersibuk antara kerja, main basket dan jadwal sosialnya.  
Kalau beruntung, Anisa masih bisa bertemu Zidan disela-sela jadwal kesibukannya. Namun sedikit waktu itu pun kini menjadi tidak semanis yang dulu pernah mereka miliki. Selalu ada orang lain diantara mereka.
Teman.
Penggemar.
Perselingkuhan.
Zidan tak pernah mengakuinya dengan terang-terangan tentu saja. Namun Anisa tahu. Ia sudah terlalu lama mengenal Zidan untuk mengabaikan nuraninya. Zidan selalu bilang mereka adalah teman-temannya, penggemarnya. Terkadang Anisa berusaha untuk mempercayainya, tapi apa yang dilihatnya selalu lebih dari itu. Ia yakin dirinya cukup bisa membedakan antara pertemanan, hubungan penggemar-idola, atau perselingkuhan. 
“Kenapa kau tidak selingkuh saja?”
“Yang benar saja,” Hera menatap Citra tak percaya.
“Iya, selingkuh dibalas selingkuh. Itu baru adil. Mungkin dengan begitu Zidan baru bisa merasakan bagaimana rasanya diduakan. Atau kalau dia tidak perduli juga, itu artinya dia memang sudah tidak perduli lagi padanya. Kalau sudah begitu untuk apa diteruskan?”
“Oh, jangan didengarkan perkataannya, Nisa.”
“Kenapa tidak?” Citra masih melanjutkan. “Dan tahu tidak? Nisa tidak pernah kencan dengan cowok selain Zidan. Dengan begitu dia bisa membandingkan cowok mana yang baik dan mana yang layak untuk dilemparkan kelaut.”
“Bagaimana mungkin kau mengusulkan hal yang seperti itu, Citra? Anisa itu sedang bingung, seharusnya kamu ngasih solusi padanya dong.”
“Itu solusi yang kupikirkan.”
“Itu artinya menambah masalah.”
“Aku bukannya tidak pernah memikirkannya,” kata Anisa mengejutkan Hera.
“Nah, kan? Berarti kau setuju denganku bukan?” kata Citra girang.
“Tapi setiap kali itu pula,” kata Anisa muram. “Aku juga tahu hanya dia yang aku cintai. Aku tidak bisa membayangkan akan bisa hidup tanpa dia.”
“Dia tahu kau mencintainya setengah mati, mungkin karena itu dia semena-mena padamu,” kata Hera.
“Ah,” desah Citra dengan senang. “Akhirnya kita berdua setuju tentang hal yang sama.”
“Menurut kalian begitu?”
“Coba bayangkan. Kalian sudah pacaran berapa tahun? Tujuh tahun?”
“Delapan.”
“Delapan? Apa kau masih merasakan jantungmu berdebar kencang seperti saat kau mulai berkencan dulu?”
Anisa berkedip, “Itu karena kami sudah merasa nyaman satu sama lain saja. Mana ada pasangan yang masih berdebar-debar kencang setiap kali berdekatan setelah delapan tahun berkencan?”
“Nah, kau mengatakannya sendiri. Kurasa dia bosan denganmu.”
“Aku menyesal mengatakan ini, Nisa,” kata Hera pelan. “Tapi kurasa kali ini Citra benar.”
Hari menjelang sore. Angin bertiup semakin kencang, menerbangkan rambut-rambut-rambut Anisa hingga berantakan. Ia tidak perduli dengan itu. Ia tenggelam dalam pikirannya akan Zidan. Semua yang terjadi selama ini. Harus diakui, ia nyaris tidak merasakan manisnya hubungan cinta yang dulu pernah mereka miliki dulu. Perjumpaan mereka juga menjadi hambar, tak banyak yang bisa mereka perbincangkan.
 Citra mengenakan kaca mata hitamnya dan menatap ke sekelilingnya. Pantai yang tadi benar-benar sepi, mulai ramai. Beberapa pasangan tampak saling gandeng tangan menyusuri tepian pantai, bercanda dan saling siram air.
Hera menarik tasnya, mengambil selembar kain pantai berwarna merah menyala dan mengikatkannya di sekeliling pinggangnya. Seperti halnya Citra, ia mengenakan kacamata hitam berikut sebuah topi lebar yang cantik.
“Menurut kalian, apakah dia akan memperhatikanku lagi jika aku berselingkuh?”  
“Ya,” angguk Citra langsung.
Anisa menatap Hera, mencari pendapat kedua.
Gadis yang paling muda diantara mereka bertiga itu mengangkat bahunya. “Aku bukan penganut selingkuh. Tapi kalau melihat kelakuan Zidan, yah, kurasa kau membutuhkannya.”
Anisa menghela nafas panjang. “Aku tidak yakin bisa melakukannya. Lagian, mana ada lelaki yang mau bermain-main denganku?”
“Apa maksudmu mana ada?” tukas Citra. “Kulihat Uje gak bosan-bosannya menggodamu.”
 “Jangan Uje. Denger-denger dia punya bini dikampungnya,” Hera mengedarkan tatapannya. “Kau suka tipe lelaki yang seperti apa?”
“Tinggi, tampan, berkulit bersih.”
“Berhentilah memikirkan Zidan!” cela Citra.  
“Kalau memang mau selingkuh jangan mencari orang yang mirip dengannya. Itu hanya akan menyiksa dirimu sendiri dan menambah kemenangan Zidan,” kata Hera. “Lagian, siapa tahu nantinya kau malah dapat cowok yang lebih baik daripada Zidan. Mungkin tidak secara fisik, karena Zidan memang tampan. Tapi percayalah, cinta itu tidak hanya soal wajah. Kau lihat lelaki yang disana itu?”
Hera menunjuk seorang pemuda kurus berkulit legam yang menggandeng ceweknya di sepanjang garis pantai. “Kau suka yang itu?”
“Terlalu kurus. Terlalu hitam.”
“Kalau seperti Ken?”
“Ken?” Anisa menatap Citra dan melihat gadis itu tengah menatap ke arah pasangan yang tengah duduk tidak terlalu jauh dari mereka. Seorang lelaki jangkung mengenakan celana jeans dan berkaus berwarna putih. Rambutnya sedikit memanjang ke bahunya dan  sebatang rokok tampak terjepit dijarinya. Ia tampak bicara serius dengan wanita setidaknya lima atau enam tahun lebih tua darinya.
“Siapa dia?”
“Kau tidak tahu Ken?”
“Kepala preman, gigolo juga. Aku beberapa kali melihatnya masuk hotel bersama dengan wanita-wanita paruh baya. Tidak. Kau tidak akan cocok dengannya,” Hera menggeleng tegas. “Kau akan bangkrut dalam sekejap mata.”
 Anisa tidak melepaskan tatapannya. Bekerja selama beberapa tahun di hotel tidak lantas membuatnya cukup mengenali mana lelaki yang pantas menjadi gigolo atau tidak. Tapi menurut pendapatnya, lelaki berkulit gelap itu sama sekali tidak tampak seperti seorang gigolo. Raut wajahnya tampak dingin saat mendengarkan wanita disebelahnya berbicara. Kalau kepala preman? Yah, sepertinya dia lebih pantas menjadi kepala preman daripada seorang gigolo.
Bagaimana rasanya punya kekasih bertampang dingin seperti dia? Anisa bahkan tidak ingin membayangkannya. Diam-diam Anisa merasa kasihan pada gadis manapun yang sampai jatuh hati padanya. Dari segi postur mungkin dia oke, tapi sepertinya hanya itu saja satu-satunya kelebihannya. Kalau semuda itu saja dia sudah menjadi preman, mau ada harapan apalagi didepannya?
Anisa terkesiap ketika tiba-tiba saja lelaki itu memalingkan wajahnya dan menatapnya langsung ke matanya. Anisa ingin berpaling, namun sesuatu dimata lelaki itu membuatnya tetap tertegun dan menatapnya…

Bersambung…

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda