Cinta di persimpangan part 1
Haruskah aku selingkuh?
Suatu sore di pantai Anyer.
Hari
senin merupakan hari idaman bagi semua orang yang bekerja dihotel bertebaran di
sepanjang pantai barat pulau jawa itu. Setelah akhir pekan yang supersibuk
dengan kepadatan turis lokal maupun mancanegara, hari senin adalah waktu bagi
para pekerja untuk beristirahat dan bersantai.
Itu
pula yang dikerjakan oleh Anisa bersama kedua sahabatnya Citra dan Hera. Sore
itu mereka menggelar tikar di tepi pantai dibawah pohon rindang yang tidak jauh
dari rumah Hera. Mereka membawa banyak makanan, minuman, buku, dan juga
sunblok.
Hera
merupakan satu-satunya diantara mereka yang asli orang Anyer. Citra berasal
dari Jakarta. Dulu dia pernah bekerja sebagai seorang akuntan disebuah
perusahaan besar di Jakarta. Suatu hari bersama rekan-rekan kantornya ia berlibur
ke pantai Anyer dan hati Citra tertambat disana. Beberapa bulan kemudian ia
memergoki suaminya berselingkuh dengan seorang rivalnya dikantor. Mereka pun
bercerai dan Citra kembali ke pantai ini. Awalnya dia hanya ingin berlibur dan
menenangkan dirinya. Namun kemudian ia melihat lowongan akuntan di hotel
tempatnya menginap dan dia langsung melamar. Sejak itu, ia tak pernah kembali
ke Jakarta. Tidak untuk tinggal.
Sementara
Anisa sendiri berasal dari salah satu desa di kawasan Tangerang. Tak ada yang
istimewa dari ceritanya. Ia datang ke Anyer empat tahun yang lalu untuk
menyusul kekasihnya—yang telah berangkat lebih dulu bekerja disana. Mereka
sepakat bekerja dan mengumpulkan uang untuk bekal pernikahan mereka kelak.
Hingga kini, tiga tahun kemudian. Zidan telah menjadi seorang manager lapangan,
sementara dirinya menjadi kepala housekeeping. Sebuah pencapaian yang lumayan
dan pendapatan yang juga lumayan. Seharusnya kini mereka bisa menikah dan
membentuk keluarga kecil yang bahagia. Tapi masalahnya …
“Kau
tahu Imel?” tanya Anisa.
“Imeal?”
Hera menoleh dari bukunya. “Asisten General Manager yang baru itu?”
“Yang
punya mobil mewah berwarna kuning.”
“Ya, itu memang dia. Kenapa?”
“Dia
sangat cantik.”
“Dia
keponakan pemilik hotel,” Citra yang sedang mengoleskan banyak-banyak sunblock
ke wajah dan tangannya ikut menyahut. “Ibunya pemilik sebuah penerbitan sebuah
majalah wanita ternama. Kaya? Jangan tanya lagi. Mobilnya itu tidak akan kebeli
kalau dia hanya mengandalkan gajinya sebagai asisten manajer.”
Penjelasan
Citra sama sekali tidak memperbaiki perasaan Anisa. Dengan malas ia meraih
botol minumannya dan meminum seteguk sebelum melemparkannya sembarangan ke
tasnya.
“Kenapa
tiba-tiba tertarik padanya?” Hera menutup bukunya dan memberikan perhatiannya
pada Anisa.
Anisa
beringsut memperbaiki duduknya seraya menatap anak krakatau dikejauhan yang
terlihat di kejauhan tanpa benar-benar memikirkan apa yang dilihatnya.
“Ah,
aku tahu,” Citra menjentikkan jarinya. “Kau iri padanya?”
Sebagai
teman, terkadang Citra memang agak tidak berperasaan. Tidak pernah berfikir
apakah orang yang mendengar perkataannya akan sakit hati atau tidak. Walaupun mungkin
kalau dipikir-pikir Citra ada benarnya. Ia iri pada Imel, meski benar-benar
dengan alasan yang berbeda.
“Kenapa
kau bilang begitu?” Hera memprotes.
“Memang
kenapa?” Citra mengangkat alisnya dan meneruskan. “Itu bisa dimaklumi kok. Aku
tidak suka mengatakan ini, tapi yang namanya laki, dimana-mana juga sama. Meski
udah punya bini, kalau lihat wajah cantik dan bodi seksi pasti ngiler juga. Dan
Imel? Dia sangat sombong, tapi dia jelas cantik dan seksi. Ia seperti obyek
mimpi berjalan setiap lelaki yang melihatnya. Ia bisa memberi efek yang sangat
besar untuk membuat cewek disekitarnya merasa rendah diri.”
“Citra,”
Hera menyikutnya. Merasa tidak enak dengan Anisa.
“Memang
berat bersaing dengannya. Kabarnya dia juga jago menari balet dan juga jago
bermain piano—“
“Benarkah?”
desah Anisa lemah.
“—intinya
dia gadis sempurna. Tapi kau tidak usah khawatir, setiap cewek iri padanya. Kau
tidak sendirian.”
“Aku
tidak iri padanya,” tegas Anisa. “Aku membencinya.”
Baik
Citra maupun Hera tertegun menatap sahabat mereka itu. Mereka berdua bisa
melihat Anisa mulai kehilangan kesabaran.
“Yah,
yang lain juga begitu,” Citra kembali menyahut. “Mereka iri dan benci. Keduanya
biasanya menjadi satu paket, Anisa.”
“Maksudmu…
Zidan selingkuh?” todong Hera. “Lagi?”
Citra
menghela nafas dan menggerutu, “Mereka memang terlahir untuk menjadi
bajingan.”
Wajah
Anisa terasa menghangat, marah dan malu bercampur menjadi satu. Diantara mereka
bertiga, hanya dirinya yang memiliki pacar tetap selama ini. Citra
berganti-ganti pacar seperti mengganti koleksi pakaian. Setidaknya sudah tiga
kali berganti pasangan sejak mereka berkenalan dan sekarang sedang tidak
memiliki pacar. Ia tidak mengerti bagaimana mereka bisa begitu mudahnya jatuh
dari pelukan lelaki yang satu ke lelaki yang lain. Namun sudah setahun ini dialah
yang selalu bermasalah dengan perselingkuhan kekasihnya.
Bagaimanapun
mereka sudah berpacaran selama delapan tahun. Mereka pernah memiliki masa-masa
dimana mereka benar-benar kasmaran dan tidak bisa berjauhan meski hanya sekejap
saja. Semua terasa indah dan mereka sama-sama percaya mereka tidak akan bisa
hidup terpisah selamanya.
Mereka
bahkan sudah merancang tentang rencana bagaimana mereka akan menghabiskan hidup
mereka sampai tua bersama-sama. Dan kini mereka masih berumur dua puluh tujuh
tahun. Masih bisa dibilang muda namun hubungan mereka sudah jauh dari kata
bahagia. Nyaris tak ada waktu untuk bersama.
Citra
beberapa kali mengatakan bahwa lelaki seperti itu lebih baik dibuang saja. Tapi
Anisa masih ingin mempertahankan atau kalau bisa mengembalikan apa yang pernah
mereka miliki dulu. Ia benar-benar merindukan saat-saat indah itu. Bagaimanapun,
Anisa masih tetap tidak bisa hidup tanpa Zidan disisinya…
“Ini
bukan sepenuhnya kesalahan Imel,” lanjut Anisa lemah. “Zidan juga yang mencari
gara-gara. Lagi-lagi dia memperlakukan aku seperti ini.”
Ada
kerutan kecil diantara dua alis Citra. “Maksudmu dia benar-benar selingkuh? Dengan
Imel?”
Kedua
bahu Anisa terkulai, “Dia terlihat makin aneh akhir-akhir ini.”
Baik
Citra maupun Hera mendengarkan dengan serius.
“Aku
makan malam bersamanya semalam. Salah seorang temannya juga ada disana. Dia
sedang nyamperin meja temannya itu dan … aku menerima telponnya.” Anisa menarik
nafas frustasi. “Cewek itu menelponnya.”
“Memangnya
dia bilang apa?”
“Dia
tertawa waktu kubilang aku pacarnya Zidan,” sahut Anisa muram. “Dan Zidan … dia
terlihat aneh saat kubilang dapat telpon dari Imel.”
“Apa
tanggapan Zidan?”
“Dia
agak marah karena aku mengangkat telponnya. Dia bilang meski aku kekasihnya,
tidak etis jika aku mengangkat telpon tanpa seijinnya. Melanggar privasinya
katanya.”
Bola
mata Citra berputar.
“Terus
dia bilang cewek itu siapa?” Hera bertanya.
“Dia
bilang mereka hanya berteman.”
“Ha
ha,” tawa Citra sarkastis. “Silakan saja kalau mau percaya. Suamiku dulu juga
bilang Indri temannya. Dia bilang kecurigaanku sama sekali tidak beralasan. Seminggu
kemudian aku menangkap basah mereka bercinta di meja dapurku.”
“Mungkin
mereka benar berteman?” komentar Hera.
“Kau
ini bodoh atau lugu?” tukas Citra. “Kau berapa kali putus dengan pacarmu?
Berapa kali kau ditinggalkan? Bagaimana bisa kau belum tahu juga kelagat mereka
kalau mereka punya perempuan lain?”
Hera
mengangkat bahunya, “Aku yang biasanya meninggalkan mereka. Aku tidak mau
bercinta sebelum kami menikah. Tapi mereka selalu bilang aku kuno dan sok suci.
Jadi aku tinggalkan saja mereka. Buat apa bela-belain cowok yang tidak mau
menghargai prinsip hidupku?”
Baik
Citra maupun Anisa bengong melihat teman mereka itu. Bagaimana tidak? Secara
fisik, Hera seorang gadis yang sempurna dan tidak segan-segannya memamerkan
kesempurnaan tubuhnya. Lihat saja sekarang, sementara Anisa dan Citra
mengenakan celana pendek dan kaus, Hera hanya mengenakan bikini merah menyala
yang menonjolkan segala keindahan fisiknya yang memang selalu dijaganya dengan
hati-hati.
“Jadi
maksudmu kau menggoda mereka, memamerkan semua yang kau miliki pada mereka dan
kemudian kau menolak mereka?” tanya Anisa, lebih terdengar heran daripada
menghakimi.
“Memang
apa yang salah? Aku sudah susah-susah berdiet sepanjang hidupku. Jadi hakku
untuk memamerkannya pada semua orang. Lagipula, apa orang yang punya prinsip
mempertahankan keperawanan sampai menikah tidak boleh tampil seksi? Itu baru
kuno.”
Citra
berpandangan dengan Anisa dan terkekeh. “Kalau aku punya anak perempuan nanti,
aku akan mengantarnya kerumahmu dan ajari dia tentang prinsip-prinsipmu itu.”
Anisa menghela nafas panjang, “Mungkin kita
sudah waktunya punya anak.”
Kedua
temannya terdiam beberapa lama. Hera mengangguk setuju sementara Citra tidak
menanggapi.
Hera mengernyitkan keningnya. “Kenapa kau
tidak mengajaknya menikah saja?”
“Apa?”
“Zidan.
Coba saja ajak dia menikah. Kalau dia mau, itu artinya dia masih mencintaimu
dan memang ingin meneruskan hubungannya denganmu. Kalau tidak, seperti kata
Citra, dia memang lelaki brengsek yang tidak pantas kau tunggu.”
“Itu
ide bodoh,” kata Citra menimpali. “Kalau
masih pacaran saja sudah suka selingkuh, kenapa harus dilanjutkan ke
pernikahan?”
“Akhir-akhir
ini dia sering bilang mencintaiku,” Anisa menghela nafas panjang. “Tapi entah
kenapa semakin sering dia mengatakan itu, semakin hatiku merasa tidak enak.”
“Kurasa
dia bilang begitu untuk menutupi perselingkuhannya. Biar kau tidak curiga
tentang hubungannya dengan Imel.”
“Atau
bisa jadi dia memang mencintaimu,” Hera mencoba menghiburnya. “Zidan memang
populer, dan begitu juga Imel. Sesama orang populer memang saling mengenal.”
“Mereka
selingkuh. Aku tahu itu.”
Citra
menatap Anisa lama, bulu mata lentiknya berkedip cepat sebelum berkata, “Kadang
aku berfikir, Anisa.”
“Apa?”
“Mungkinkah
kau sebenarnya tidak begitu siap memiliki pacar sekeren dan sepopuler Zidan?”
“Astaga,
Citra,” Hera benar-benar menyikut lengan Citra kali ini. “Bagaimana bisa kau bilang
begitu pada sahabatmu sendiri?”
Perkataan
Citra itu menyikut perasaan Anisa. Ia mencintai Zidan sejak mereka masih
sama-sama duduk di bangku SMP dan berpacaran saat kelas dua SMU. Zidan adalah seorang
cowok cerdas, tampan, energik dan atlit basket yang selalu populer kemanapun ia
melangkahkan kakinya. Tapi bukan itu yang membuatnya pertama kali jatuh hati
pada Zidan. Zidan seorang pemuda yang baik. Itu benar. Setidaknya begitulah
Zidan yang dulu. Banyak saat-saat manis yang mereka rasakan berdua. Hampir
setiap hari sabtu sore, selepas Zidan berlatih basket mereka nyaris selalu
menghabiskan waktu bersama. Terkadang
mereka makan bersama, nonton film, atau bahkan sekedar berjalan-jalan dengan
mengendarai sepeda motor Zidan. Ia ingat suatu hari pernah berfikir mungkin dirinyalah
gadis paling bahagia didunia. Saat itu, ia merasa hidupnya sempurna.
Namun
kini semua itu seolah sudah terjadi disuatu kehidupan yang lain. Meski mereka
sudah bekerja, karir basket Zidan tetap melesat. Kemanapun ia pergi selalu
menjadi tumpuan perbincangan dan perhatian. Dari hari kehari semakin banyak gadis-gadis
yang menjadi fansnya dan mereka berebut mencuri perhatiannya. Bahkan tamu-tamu
hotel pun tidak luput dari jeratan pesonanya. Tak ada banyak waktu lagi yang
tersisa bagi Anisa disela-sela jadwal Zidan yang supersibuk antara kerja, main
basket dan jadwal sosialnya.
Kalau
beruntung, Anisa masih bisa bertemu Zidan disela-sela jadwal kesibukannya.
Namun sedikit waktu itu pun kini menjadi tidak semanis yang dulu pernah mereka
miliki. Selalu ada orang lain diantara mereka.
Teman.
Penggemar.
Perselingkuhan.
Zidan
tak pernah mengakuinya dengan terang-terangan tentu saja. Namun Anisa tahu. Ia sudah
terlalu lama mengenal Zidan untuk mengabaikan nuraninya. Zidan selalu bilang
mereka adalah teman-temannya, penggemarnya. Terkadang Anisa berusaha untuk
mempercayainya, tapi apa yang dilihatnya selalu lebih dari itu. Ia yakin
dirinya cukup bisa membedakan antara pertemanan, hubungan penggemar-idola, atau
perselingkuhan.
“Kenapa
kau tidak selingkuh saja?”
“Yang
benar saja,” Hera menatap Citra tak percaya.
“Iya,
selingkuh dibalas selingkuh. Itu baru adil. Mungkin dengan begitu Zidan baru
bisa merasakan bagaimana rasanya diduakan. Atau kalau dia tidak perduli juga,
itu artinya dia memang sudah tidak perduli lagi padanya. Kalau sudah begitu
untuk apa diteruskan?”
“Oh,
jangan didengarkan perkataannya, Nisa.”
“Kenapa
tidak?” Citra masih melanjutkan. “Dan tahu tidak? Nisa tidak pernah kencan
dengan cowok selain Zidan. Dengan begitu dia bisa membandingkan cowok mana yang
baik dan mana yang layak untuk dilemparkan kelaut.”
“Bagaimana
mungkin kau mengusulkan hal yang seperti itu, Citra? Anisa itu sedang bingung, seharusnya
kamu ngasih solusi padanya dong.”
“Itu
solusi yang kupikirkan.”
“Itu
artinya menambah masalah.”
“Aku
bukannya tidak pernah memikirkannya,” kata Anisa mengejutkan Hera.
“Nah,
kan? Berarti kau setuju denganku bukan?” kata Citra girang.
“Tapi
setiap kali itu pula,” kata Anisa muram. “Aku juga tahu hanya dia yang aku
cintai. Aku tidak bisa membayangkan akan bisa hidup tanpa dia.”
“Dia
tahu kau mencintainya setengah mati, mungkin karena itu dia semena-mena
padamu,” kata Hera.
“Ah,”
desah Citra dengan senang. “Akhirnya kita berdua setuju tentang hal yang sama.”
“Menurut
kalian begitu?”
“Coba
bayangkan. Kalian sudah pacaran berapa tahun? Tujuh tahun?”
“Delapan.”
“Delapan?
Apa kau masih merasakan jantungmu berdebar kencang seperti saat kau mulai berkencan
dulu?”
Anisa
berkedip, “Itu karena kami sudah merasa nyaman satu sama lain saja. Mana ada
pasangan yang masih berdebar-debar kencang setiap kali berdekatan setelah
delapan tahun berkencan?”
“Nah,
kau mengatakannya sendiri. Kurasa dia bosan denganmu.”
“Aku
menyesal mengatakan ini, Nisa,” kata Hera pelan. “Tapi kurasa kali ini Citra
benar.”
Hari
menjelang sore. Angin bertiup semakin kencang, menerbangkan rambut-rambut-rambut
Anisa hingga berantakan. Ia tidak perduli dengan itu. Ia tenggelam dalam pikirannya
akan Zidan. Semua yang terjadi selama ini. Harus diakui, ia nyaris tidak
merasakan manisnya hubungan cinta yang dulu pernah mereka miliki dulu.
Perjumpaan mereka juga menjadi hambar, tak banyak yang bisa mereka
perbincangkan.
Citra mengenakan kaca mata hitamnya dan
menatap ke sekelilingnya. Pantai yang tadi benar-benar sepi, mulai ramai.
Beberapa pasangan tampak saling gandeng tangan menyusuri tepian pantai,
bercanda dan saling siram air.
Hera
menarik tasnya, mengambil selembar kain pantai berwarna merah menyala dan
mengikatkannya di sekeliling pinggangnya. Seperti halnya Citra, ia mengenakan
kacamata hitam berikut sebuah topi lebar yang cantik.
“Menurut
kalian, apakah dia akan memperhatikanku lagi jika aku berselingkuh?”
“Ya,”
angguk Citra langsung.
Anisa
menatap Hera, mencari pendapat kedua.
Gadis
yang paling muda diantara mereka bertiga itu mengangkat bahunya. “Aku bukan
penganut selingkuh. Tapi kalau melihat kelakuan Zidan, yah, kurasa kau
membutuhkannya.”
Anisa
menghela nafas panjang. “Aku tidak yakin bisa melakukannya. Lagian, mana ada
lelaki yang mau bermain-main denganku?”
“Apa
maksudmu mana ada?” tukas Citra. “Kulihat Uje gak bosan-bosannya menggodamu.”
“Jangan Uje. Denger-denger dia punya bini
dikampungnya,” Hera mengedarkan tatapannya. “Kau suka tipe lelaki yang seperti
apa?”
“Tinggi,
tampan, berkulit bersih.”
“Berhentilah
memikirkan Zidan!” cela Citra.
“Kalau
memang mau selingkuh jangan mencari orang yang mirip dengannya. Itu hanya akan
menyiksa dirimu sendiri dan menambah kemenangan Zidan,” kata Hera. “Lagian, siapa
tahu nantinya kau malah dapat cowok yang lebih baik daripada Zidan. Mungkin
tidak secara fisik, karena Zidan memang tampan. Tapi percayalah, cinta itu tidak
hanya soal wajah. Kau lihat lelaki yang disana itu?”
Hera
menunjuk seorang pemuda kurus berkulit legam yang menggandeng ceweknya di
sepanjang garis pantai. “Kau suka yang itu?”
“Terlalu
kurus. Terlalu hitam.”
“Kalau
seperti Ken?”
“Ken?”
Anisa menatap Citra dan melihat gadis itu tengah menatap ke arah pasangan yang
tengah duduk tidak terlalu jauh dari mereka. Seorang lelaki jangkung mengenakan
celana jeans dan berkaus berwarna putih. Rambutnya sedikit memanjang ke bahunya
dan sebatang rokok tampak terjepit
dijarinya. Ia tampak bicara serius dengan wanita setidaknya lima atau enam
tahun lebih tua darinya.
“Siapa
dia?”
“Kau
tidak tahu Ken?”
“Kepala
preman, gigolo juga. Aku beberapa kali melihatnya masuk hotel bersama dengan
wanita-wanita paruh baya. Tidak. Kau tidak akan cocok dengannya,” Hera
menggeleng tegas. “Kau akan bangkrut dalam sekejap mata.”
Anisa tidak melepaskan tatapannya. Bekerja selama
beberapa tahun di hotel tidak lantas membuatnya cukup mengenali mana lelaki
yang pantas menjadi gigolo atau tidak. Tapi menurut pendapatnya, lelaki
berkulit gelap itu sama sekali tidak tampak seperti seorang gigolo. Raut
wajahnya tampak dingin saat mendengarkan wanita disebelahnya berbicara. Kalau
kepala preman? Yah, sepertinya dia lebih pantas menjadi kepala preman daripada seorang
gigolo.
Bagaimana
rasanya punya kekasih bertampang dingin seperti dia? Anisa bahkan tidak ingin
membayangkannya. Diam-diam Anisa merasa kasihan pada gadis manapun yang sampai
jatuh hati padanya. Dari segi postur mungkin dia oke, tapi sepertinya hanya itu
saja satu-satunya kelebihannya. Kalau semuda itu saja dia sudah menjadi preman,
mau ada harapan apalagi didepannya?
Anisa
terkesiap ketika tiba-tiba saja lelaki itu memalingkan wajahnya dan menatapnya
langsung ke matanya. Anisa ingin berpaling, namun sesuatu dimata lelaki itu
membuatnya tetap tertegun dan menatapnya…
Bersambung…

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda